Sabtu, 22 September 2012

Dari Pembelajaran Kognisi (Cognitive Oriented) Menuju Pendidikan Karakter


DARI PEMBELAJARAN KOGNISI (COGNITIVE ORIENTED)
MENUJU PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh: Mohamad Kholil, S.S., M.S.I.
(Direktur Sekolah Dasar Islam “MI Hidayatus Salafiyah” Dukuhjeruk, Karangampel, Indramayu;
Tenaga Pengajar/Dosen FAI Universitas Wiralodra, STAI Sayid Sabiq, dan STKIP NU Indramayu;
Anggota Team Peneliti Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI, tentang:
Evaluasi Kesiapan Pelaksanaan Pendidikan Karakter Bangsa di Sekolah/Madrasah Seluruh Indonesia”, 2011)


A.    Konsep Pendidikan Karakter

Karakter merupakan nilai-nilai prilaku manusia yang memiliki dimensi multi-relasional, terkait hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (habl min Allah), diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan, berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada seluruh warga sekolah/madrasah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia seutuhnya (insan kamil). Dalam pelaksanaan pendidikan karakter, semua komponen atau subyek sekolah/madrasah (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen substansi pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan kelas dan sekolah/madrasah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah/madrasah.
Singkatnya, sebagaimana diungkapkan Doni Koesoema A, M.Ed., “Pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh tidak sekedar membentuk anak-anak muda menjadi pribadi-pribadi yang cerdas dan baik, melainkan juga membentuk mereka menjadi “pelaku” bagi perubahan dalam hidupnya sendiri, yang pada gilirannya akan menyumbangkan perubahan bagi tatanan sosial kemasyarakatan menjadi lebih adil, baik, dan manusiawi.”.

B.     Pendidikan Karakter: Modal Membangun Peradaban dan Keadaban Bangsa

Dunia pendidikan saat ini diharapkan dapat menjadi motor penggerak sekaligus fasilitator dalam pelaksanaan pendidikan karakter, sehingga pada gilirannya secara umum masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama.
”Dari mana asalmu tidaklah penting, ukuran tubuhmu juga tidak penting. Namun ukuran otakmu yang cukup penting. Dan ukuran hatimu, itulah yang sangat penting”. Karena otak (pikiran) dan qalbu (hati) merupakan organ yang menyimpan potensi manusia paling kuat dalam menggerakkan seseorang dapat ”bertutur kata dan bertindak”.
Mungkin hal yang patut kita telaah dan renungkan dalam hati adalah, apakah telah memadai ”wahana” pembelajaran yang ada saat ini dalam memberikan peluang bagi peserta didik untuk meraih multi-kecerdasan yang mampu mengembangkan sikap-sikap mental mereka seperti: kejujuran, toleransi, integritas, komitmen, kerja keras, kedisipilinan, visioner, dan kemandirian?.
Potret sejarah bangsa Indonesia sesungguhnya telah memberikan pelajaran sangat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran, itulah yang sesungguhnya mengantarkan bangsa ini ke gerbang kemerdekaan. Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar, bagaimana toleransi dan keterbukaan para pendiri bangsa ini dalam menerima pendapat dan berbagai kritik saat itu. Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para pemimpin bangsa itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka.
Karena itu pendidikan karakter dan kebangsaan harus digali dari landasan ideal “Pancasila” dan landasan konstitusional “UUD 1945” sebagai landasan berbangsa dan bernegara. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk Negara Kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak “pluralisme” tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia.
Pendidikan nilai-nilai karakter bangsa harus dimulai dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan non-formal. Tantangan saat ini dan ke depan adalah, bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai satu “kekuatan bangsa”. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.
”Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa” adalah kearifan dari keanekaragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukan hanya sekedar wacana tetapi realita dan kebutuhan yang nyata; bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan; dan bukan hanya simbol atau slogan tetapi keberpihakan yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad bangsa: “sekali merdeka, tetap merdeka”. (Muktiono Waspodo).

C.    Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Karakter

Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP) dan implementasi pembelajarannya di sekolah/madrasah, tujuan pendidikan nasional sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya adalah, pendidikan karakter di sekolah/madrasah selama ini baru menyentuh pada tingkatan “pengenalan” norma-norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan “internalisasi” dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design tersebut menjadi rujukan konseptual dan operasional bagi pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: “Olah Hati” (spiritual and emotional development), “Olah Pikir” (intellectual development), “Olah Raga dan Kinestetik” (physical and kinestetic development), dan “Olah Rasa dan Karsa” (affective and creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut. Secara lebih rinci, aspek-aspek dalam pendidikan karakter memuat 12 point, yaitu: Pendidikan Agama, Kejujuran, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai Prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta Damai, Gemar Membaca.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 disebutkan, bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non-formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah/madrasah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah/madrasah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter yang terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal di lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah/madrasah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah/madrasah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik.
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh sekolah/madrasah di Indonesia. Semua warga sekolah/madrasah tanpa kecuali, yang meliputi para peserta didik, guru, tenaga administratif, dan pimpinan menjadi sasaran program ini. Lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik bisa dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah/madrasah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan mendayagunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke “pengenalan nilai” secara kognitif, “penghayatan nilai” secara afektif, dan akhirnya ke “pengamalan nilai” secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada perlu segera dikaji dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkan secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah/madrasah.
Melalui program ini diharapkan lulusan-lulusan dari peserta didik dapat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, memiliki kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah/madrasah yang terpatri secara kokoh dan positif.

D.    Mengukur Keberhasilan Pendidikan Karakter

Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik, yang antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
1)      Mengamalkan nilai-nilai dan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik.
2)      Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri.
3)      Menunjukkan sikap percaya diri.
4)      Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas.
5)      Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, golongan sosial/ekonomi dalam lingkup nasional.
6)      Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif.
7)      Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif.
8)      Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
9)      Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
10)  Mendeskripsikan gejala alam dan sosial.
11)  Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab.
12)  Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
13)  Menghargai karya seni dan budaya nasional.
14)  Menghargai tugas/pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya.
15)  Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik dan positif.
16)  Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun.
17)  Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat.
18)  Menghargai adanya perbedaan pendapat.
19)  Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana.
20)  Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana.
21)  Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan lanjutan.
22)  Memiliki jiwa kewirausahaan.

Adapun pada lingkup lembaga pendidikan (sekolah/madrasah), kriteria keberhasilan pendidikan karakter adalah terbentuknya “budaya sekolah/madrasah” (yang meliputi: prilaku, tradisi, kebiasaan sehari-hari, pola dan hubungan kerja, serta simbol-simbol yang dipraktekkan oleh semua civitas sekolah/madrasah, termasuk masyarakat sekitar) yang berlandaskan pada nilai-nilai pendidikan karakter sebagaimana tersebut di atas [ ].
Demikian. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi as-showab.

*********

(Disampaikan pada Forum Silaturahmi dan Halal Bi Halal
Keluarga Besar KKMI se-Wilayah Kec. Karangampel – Kedokan Bunder
Kab. Indramayu, Rabu, 12 September 2012/25 Syawal 1433 H)




”Apa yang aku pikirkan adalah suatu kebenaran yang mungkin mengandung kesalahan menurut orang lain. Dan apa yang orang lain pikirkan, bagiku adalah suatu kesalahan yang juga bisa mengandung kebenaran. Maka, raihlah hanya kebenaran itu saja, meski ia keluar dari mulut seekor keledai sekalipun. Dan kebenaran itu, selamanya tidak akan mampu diraih oleh orang-orang yang senantiasa sibuk membenarkan dirinya sendiri”

(Adapted from Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i RA.)